Ketika Sakit Mendera

Di tengah-tengah pesta demokrasi Indonesia Pemilihan Presiden 2014, di tengah-tengah euforia Piala Dunia 2014, di tengah-tengah kesenangan dalam melaksanakan pekerjaan di kantor, tanpa terasa telah mengabaikan kondisi kesehatan diri sendiri. Sebenarnya tanda-tanda “tidak enak badan” ini telah dirasakan berhari-hari sebelum puncak-puncaknya 3 hari lalu. Sebenarnya hanya penyakit “kecapekan” sebagaimana orang pada umumnya. Demam yang disertai flu berat dan batuk berdahak ditambah dengan radang tenggorokan yang cukup menyiksa. Memang, apabila melihat kondisi cuaca belakangan ini, terasa “agak wajar” jika saya tetiba harus jatuh sakit seperti ini.

Siapa sih yang ingin sakit? Tentu tidak. Karena badan tidak fit, banyak kegiatan dan pekerjaan yang harus tertunda. Hilangnya 1 hari kerja, dapat berdampak cukup signifikan terhadap tempo kerja saya di dalam pembuatan laporan lingkungan, misalnya. Belum lagi pekerjaan rumah yang harus tertunda dan tidak berjalan seperti hari-hari biasanya.

Ada satu hal menarik di saat saya sedang merasa “tidak karuan” beberapa hari ini. Cukup menampar saya, karena hal sekecil ini mengapa saya merasa tidak pernah mendengar sebelumnya. Yaitu, do’a meminum obat. Saat terbaring lemas, kebetulan saya juga sedang tidak berpuasa, setelah Panadol ada di tangan saya kemudian pada saat meminumnya, mulut suami seperti berkomat-kamit membacakan suatu kalimat yang saya sendiri tidak dapat mendengarnya. Lantas saya memintanya mengucap ulang kalimat komat-kamit apa yang Beliau katakan. Ternyata adalah lafadz do’a meminum obat. Dan saya pun terkesima se-per-sekian detik. Bisa-bisanya dalam usia sejauh ini, saya tidak pernah mendengar kalimat tersebut? Dan lagi, lafadz do’a tersebut merupakan sebuah ayat dalam Al-Qur’an Nur Karim! Astaghfirullohal’adzim ganis…

Asy Syura 80

Entahlah apa jadinya apabila suami saya bukanlah seseorang yang begitu baiknya luar biasa, begitu perhatian juga sangat menyayangi istrinya. Saya tidak melebih-lebihkan, namun beginilah adanya. Walaupun dibalik kebanggaan saya terhadap Beliau, terkadang terbersit ketakutan apabila saya terlalu melebih-lebihkan, mengingat, usia pernikahan kami masih sangatlah muda. Setiap menceritakan kisah-kisah mengenai sifat suami kepada Ibu saya, Ibu saya selalu berkata dan mendo’akan, “Mudah-mudahan sifatnya begitu seterusnya sampai anak-anakmu tumbuh besar dan menginjak usia tua bersama,” Aamiin…

Kebetulan terdapat 1 hari libur, di mana saya juga puncak-puncaknya merasakan kesakitan yang tidak tertahan. Sang suami dengan penuh kasih sayang, bolak-balik naik-turun demi membelikan saya bubur dan obat generik. Mata ini rasanya agak aneh melihat Beliau berkecimpung di dapur hanya demi memberikan saya air hangat dan bubur hangat. Berulang kali pula Beliau mengingatkan saya untuk senantiasa bersabar. Ah, terima kasih suamiku…

Karena drop akibat demam tinggi yang tidak karuan, ditambah dengan pusing yang mendera, otomatis kegiatan pekerjaan rumah tangga juga sedikit terhambat. Saya, sebagai seseorang yang baru saja menyandang gelar sebagai istri, tentu memiliki perasaan bersalah yang sedemikian rupa terhadap suami saya. Belum sempat menyapu, membereskan kamar tidur, belum lagi cucian piring yang menumpuk, ditambah akibatnya saya pun tidak kuat untuk memasak demi kebutuhan sahur dan berbuka puasa.

Namun, ketakutan-ketakutan pikiran yang terbentuk, perlahan-lahan berkurang beban. Ya, semuanya berkat Beliau, suami super yang luar biasa tiada tara baiknya. Sejak awal berkenalan dengannya, saya paham, Beliau ini memang memiliki sifat yang baik ditambah memiliki sifat sabar yang tinggi ditambah tidak pernah marah-marah apalagi menyalahkan dengan membabi-buta. Berulang kali Beliau meyakinkan saya untuk tetap stay di kasur, tiduran dan tidak perlu mengkhawatirkan dirinya nanti mau buka pakai apa, mau sahur pakai apa. Sampai-sampai saat saya merasa sudah “agak baikan”, dan kemarin saat sebelum Beliau berangkat kerja, Beliau pun melarang saya untuk memasak! Padahal sudah saya tekankan saya akan baik-baik saja, mengingat hari kemarin saya memutuskan tidak berangkat kerja.

Walau begitu, saya tetap “bandel” (versi Beliau) untuk tetap berberes rumah. Karena sejujurnya, saya sendiri yang cukup gatal dan tidak betah dengan pemandangan yang amburadul seperti itu. Namun seharian tersebut benar-benar saya manfaatkan untuk beristirahat, dan sesekali setelah “merasa baikan”, melanjutkan bebersih dan berberes, kemudian tiduran lagi. Alhamdulillah, semuanya kelar.

Sepulangnya Beliau dari kantor, saya pun menyambutnya dengan sangat antusias. Dan ketika Beliau melihat ke arah dapur, Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. :p

Usai berbuka puasa, akhirnya diputuskanlah untuk berobat ke rumah sakit. Sebenarnya suami sudah menyuruh sejak kapan tau untuk berobat ke rumah sakit, tapi seperti biasa, saya selalu tidak mau karena ada ketakutan tersendiri bila nanti berbincang dengan dokter.

“Aih, sungguh terlalu, kenapa tidak dari kemarin-kemarin sih gan?” Begitu pikir saya.

Alhamdulillah semua drama akibat sakit ini usai sudah. Kini saya sudah masuk kantor, walau masih sedikit terasa seliwer dalam pandangan mata. Walau dimulainya mengantor hari ini bukannya segera merampungkan paragraf demi paragraf dalam laporan, malah ke halaman wordpress.com. Maafkan aku Dyesti, maafkan aku Lieke, maafkan aku Irawan.

Dan bahkan, usai jam makan siang pun, Beliau tumben-tumbennya menelepon saya. Ternyata, hanya sekedar mengingatkan untuk minum obat! Oke, oke, saya tahu ini berlebihan, but thank you so much Hubby! :”)

2 thoughts on “Ketika Sakit Mendera

  1. wuuuuuu. ganis so sweeeeeeeeet.hahaha.
    eh berarti kemarin waktu ketemu pas bubar bhupalaka lagi sakit ya nis itu? ckckck. hebat sekali bela-belain datang, pulang malam malam. kamu hebat nis 😀

    1. hahaha Ririiiin. enggak juga kok…kemarin alhamdulillah memang udah ngerasa baikan aja..
      yaa namanya juga sakit Rin, ngedadak datengnya. huhu.
      kalo ada kumpul-kumpul, selagi aku gak ada halangan, memang sempet, dan bisa, aku usahakan banget dateng Rin.

Leave a comment