Lost in Thought – Sebuah Pengakuan

Suatu ketika Pakdhe saya bertanya kepada saya perihal hidup dan tinggal di Ibukota Jakarta.
“Betah atau tidak?”
Saya jawab, betah! Tentu saja betah.
Lalu Beliau menanyakan kembali.
Moso’ kerasan kamu di sana? Pakdhe mbayangno muacete ra’ karuan gitu udah males duluan,”

 
– – –

 

Ya.
Sudah hampir 2 (dua) tahun saya dan suami hijrah ke kota ini.
Dan sudah genap 1 (satu) tahun pula kami secara resmi tercatat secara hukum sebagai Warga Ibukota, ber-KTP dan ber-KK dengan status sebagai Warga DKI Jakarta.
Banyak orang mengatakan kota ini merupakan sumber dari segala sumber, khususnya di dalam perputaran dunia ekonomi serta sebagai pusat dunia bisnis.

 

KK dan KTP sebagai Tanda Resminya Kami Berdua sebagai Warga DKI
KK dan KTP sebagai Tanda Resminya Kami Berdua sebagai Warga DKI

 

Saya jadi ingat obrolan beberapa waktu lalu dengan tetangga saya di Banjarnegara, yang kini Beliau sedang melanjutkan studi S3-nya di Perancis.
Saat itu kondisi saya baru saja lulus dari studi S1 saya di Bandung dan kebetulan kedua adik Beliau juga menempuh pendidikan di Bandung, yang salah satunya satu angkatan dengan saya dan sudah lebih dahulu lulus daripada saya.
Ketika itu Beliau sedang berlibur ke Indonesia, tepatnya berlibur ke Bandung, kemudian Beliau pun menyempatkan diri untuk bertemu dengan saya.
Banyak hal yang kami perbincangkan, dari kami membahas masa kecil, pendidikan luar negeri, hingga kami pun berbincang tentang rencana ke depan kami masing-masing akan bagaimana.
Dan Beliau pun mengungkapkan,
“Iya juga sih, mau di mana lagi coba perputaran duit itu. Mau nggak mau kita pasti menuju ke sana nggak sih, buat ngaplikasiin segala macem ilmu yang udah kita pelajarin. Ya kan?”

 
Begitu pula yang diungkapkan oleh seorang senior saya satu jurusan yang dulu juga merupakan tetangga di kos Bunda, Bandung.
Beliau memang asli Depok, sejak kecil memang sudah tinggal di Depok (walau sempat diselingi 7 tahun tinggal di Amerika).
Saat itu kami sedang berbincang-bincang ngalor-ngidul tentang kehidupan.
Dan kebetulan pada saat itu kondisi Beliau memang sedang mempersiapkan skripsinya.
Hingga sampailah pada Beliau berkata,
“Ya… lo mau kerja apa di Bandung. Ya…bukan berarti nggak ada sih. Dengan background TL, pilihan yang banyak ya di Jakarta, di mana lagi. Ya nggak sih,”
Begitulah.
– – –

 

Di sisi lain, memiliki kesempatan bisa melanjutkan hidup dan tinggal di kota ini terkadang menjadi sebuah “gengsi” bagi sebagian orang.
Bisa jadi salah satunya adalah saya, yang asli kampung nun jauh di sana.
Mengapa “gengsi”? Karena itu tadi, Jakarta.
Anda bisa mendapatkan semuanya di sini.
Dan cara berpikir ini masih banyak melekat di otak-otak kami yang datang dari daerah.

 
Akan tetapi di sisi lain, memiliki kesempatan bisa melanjutkan hidup di Jakarta tentunya menjadi sebuah kesempatan yang sungguh harus patut disyukuri.
Terutama bila Anda memiliki keinginan besar untuk terus mengembangkan kemampuan diri serta ingin selalu dapat berkarya sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.
Syukur-syukur, apa yang Anda kerjakan dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara luas.
Terkesan ambisius dan idealis? Bisa jadi.
Namun apa salahnya bila kita memiliki impian setinggi langit?
Dahulu sekali saat kita masih kecil, oleh orang tua kita masing-masing, kebanyakan diantara kita banyak yang diajarkan untuk bisa memiliki cita-cita dan bermimpi setinggi-tingginya.
Bukankah demikian?
– – –

 

Saya secara pribadi memang sudah merasakan merantau sejak usia masuk SMA ke Bandung.
Ditambah, SMA saya adalah SMA full asrama dengan sistem semi-militer.
Keluar kampus pun (pesiar) hanya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu, yaitu hanya pada hari Minggu saja. Selama 3 tahun!
Kecuali, jika sudah memasuki semester akhir (6 bulan terakhir) di SMA, baru terdapat izin khusus (izin tambahan) keluar kampus setiap hari Sabtu siang bagi siswa-siswi kelas XII untuk mengambil les/tambahan pelajaran di luar kampus (bagi yang ingin saja).
Sementara itu, jarak Banjarnegara – Bandung sekitar 8-9 jam perjalanan darat.
Cukup jauh menurut saya.
Pada awal-awal masa perantauan, saya sering sekali merasakan “homesick” atau “rindu rumah” yang menjadi-jadi.
Terkadang saya harus menangis dan menumpahkan segala kisah rindu kepada sahabat sambil sesenggukan.
Ya.
Susah, pada mulanya.

 
Namun dengan berjalannya waktu, saya pun semakin terbiasa.
Jiwa kemandirian semakin terbentuk.
Segala bentuk peristiwa “homesick” semakin menjauh dari kamus hidup saya.
Ditambah, saya adalah anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara dalam keluarga saya.
Sejak kecil memang sudah terbiasa melakukan banyak kegiatan secara mandiri.
Kurang perhatian dari orang tua?
Ow, tentu saja tidak. 🙂

 
Lulus dari SMA, saya yang bermula memiliki niat untuk kembali ke kampung halaman (Jawa Tengah), ternyata tidak dikabulkan oleh Tuhan.
Saya sudah bertekad memiliki keinginan melanjutkan sekolah dekat-dekat rumah saja (dekat-dekat Banjarnegara saja), di mana jarak antara rumah dengan kota studi tidak lebih dari seperempat hari (6 jam) perjalanan darat.
Karena walau sudah merasa bisa mandiri, tetap saja keinginan untuk dekat-dekat dengan rumah, khususnya dekat-dekat dengan Ibu, akan selalu ada.
Dan perasaan “homesick” dengan kadar ringan pun terkadang mendadak suka muncul di akhir-akhir masa sekolah di SMA.

 
Pada akhirnya, Tuhan pun memberikan jawaban-Nya terhadap keinginan saya yang menggebu untuk bisa kembali ke kampung halaman kala itu.
Dan ternyata…..Tuhan masih menginginkan saya untuk terus berjuang dan belajar untuk terus bisa menjadi manusia mandiri yang semakin mandiri.

 
Sebelumnya, saya sempat beradu argumen dengan orang tua, khususnya dengan Ibu saya, bahwasanya saya tidak akan pernah mau mencoba mendaftarkan diri ke perguruan tinggi area Jawa Barat, yaitu di Jakarta maupun Bogor. Tidak mau!
Sejauh-jauhnya hanya mau di Bandung! Ya, Bandung saja!
Begitulah teriakan saya kala itu via telepon dengan Ibu saya di seberang sana.

 
Dan…..ternyata. Kemakan-lah saya dengan omongan saya sendiri.

 
– – –

 

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun.
Saya pun semakin merasakan rasa “betah” untuk bisa tinggal di kota sebesar Bandung tersebut.
Kesukaan saya berkumpul dengan teman-teman, kemudian saya wujudkan dengan ikut secara aktif ke beberapa organisasi maupun kelompok kegiatan yang saya minati di kampus, baik saat SMA maupun saat berkuliah.
Karena dengan demikian juga, apabila tiba-tiba muncul rasa “homesick”, akan dapat terobati seketika itu juga.
Bisa mendapatkan kesempatan sampai 8 tahun tinggal dan hidup di Bandung, membuat saya menjadi pribadi yang semakin “kaya” akan kemampuan beradaptasi pada lingkungan baru.
Sombong? Tentu saja tidak.
Karena saya yakin banyak orang di luar sana yang juga memiliki kemampuan beradaptasi sangat tinggi dan sangat cepat juga.
– – –

 

Inilah yang saya katakan di awal bahwa saya betah dengan sebetah-betahnya, tinggal dan hidup di Ibukota Jakarta ini.
Seperti halnya do’a Ibu saya yang selalu mendoakan anak-anak Beliau agar selalu beruntung di sepanjang hidup kami. Ya, beruntung. Bejo!

 
Dan yang saya sebut sebagai  salah satu bentuk “keberuntungan” di sini yaitu, salah satu faktor yang bisa membuat saya merasa “betah” hidup di kota ini adalah banyaknya kawan-kawan SMA maupun kawan-kawan semasa kuliah yang melanjutkan hidup, tinggal, dan bermukim di Ibukota Jakarta ini.
Organisasi-organisasi yang kini sedang saya incar pun banyak yang berpusat di Jakarta juga.
Alumni-alumni satu almamater SMA dan alumni-alumni satu almamater kuliah banyak juga yang tinggal dan melakukan perkumpulan, kegiatan, serta diskusi di kota ini juga.
Ditambah, suami saya yang juga satu almamater kuliah, juga senang melakukan perkumpulan dengan kawan-kawan Beliau di Jakarta.
Banyak kawan-kawan Beliau juga yang tinggal dan hidup di kota ini.
– – –

 

Melanjutkan percakapan dengan Pakdhe saya di atas,

“Pakdhe, nek ganis udah bisa hapal angkutan umum lewate jalure mana-mana aja, insyaaAllah ganis ndak masalah sama kondisi macete Jakarta. Dulu di awal-awal pindah Jakarta, ganis ngapalin ini angkot nomor sekian lewatnya ke mana, metromini nomor ini ke mana, kopaja sing iki ke mana. Gitu, Pakdhe. Ditambah kalo ganis dah bisa sehari-hari “lepas” dari naik busway (Trans Jakarta) sebagai moda transportasi umum utama sehari-hari, bisa dibilang, ganis sampun betah, Pakdhe. Hehe,”

 
Dan lagi menurut saya pribadi, seperti yang pernah diungkapkan juga oleh Bunda Soimah, jika Anda dari daerah yang memang memiliki keinginan besar yang kemudian memutuskan untuk datang, merantau, atau tinggal serta bermukim di Ibukota, maka Anda harus bisa menerima segala bentuk kondisi kota ini sampai ke bagian “buruk-buruk”-nya.
Jangan hanya membayangkan yang enak-enaknya saja.
Berkawanlah dengan macet.
Berkawanlah dengan banjir jika memang ia harus datang ke lingkungan tempat tinggal Anda.

 

Kondisi Macet Pagi Hari yang Terkadang Harus Dinikmati
Kondisi Macet Pagi Hari yang Terkadang Harus Dinikmati

 

 

Banjir Terparah yang Pernah Dialami sebagai Pendatang Baru (Jan/Feb 2014)
Banjir Terparah yang Pernah Dialami sebagai Pendatang Baru (Jan/Feb 2014)

 

 

Dan yang terpenting.
Tetaplah bersyukur dengan setiap kondisi yang sedang Anda lalui, rasakan, dan nikmati saat ini.
Dengan semakin bersyukurnya Anda, maka Tuhan akan semakin terus menambah kenikmatan ke dalam kehidupan Anda.
Jangan lupa untuk selalu berbagi, menyedekahkan sebagian rizqi yang telah Anda peroleh.
Sisihkan sebagian harta yang sudah berhasil Anda kumpulkan untuk disedekahkan.
Karena sebagian harta kita terdapat hak-hak mereka yang benar-benar sangat membutuhkan.
Dengan bersedekah di jalan Tuhan, niscaya hidup Anda akan semakin nyaman, tentram, dan bahagia.

 

Sekian.
– – –

 

Tebet.
Jumat, 06 November 2015
16:55 WIB

Leave a comment